Syekh Balinduang di Nagari Pilubang Sungai Limau, Apa Istimewanya?

0


Nagari Pilubang Kecamatan Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat, merupakan nagari yang lumayan luas. Wilayah ini terbentang dari Selatan hingga ke Utara. Sebagian wilayahnya berada di pinggir pantai Samudera Hindia. Sebagian lagi di daratan yang terdapat lahan pertanian dan perkebunan rakyat.

Di Nagari Pilubang yang berkuasa adalah ninik mamak penghulu nan gadang basa batuah. Ninik mamak tersebut berhimpun dalam delapan penghulu  yang menjadi pemimpin di dalam Nagari Pilubang. Delapan penghulu itu sesuai pula dengan pembagian Nagari Pilubang ke kampung-kampung yang ada. Pertama, Padang Galo dengan datuknya Datuak Basa yang bersuku Caniago.

Kedua, Pinjauan dengan datuknya, Datuak Rajo Bijayo bersuku Sikumbang. Ketiga, Durian Daun, datuaknya, Datuk Bandaro  Kuniang dari suku Koto. Keempat, Sibueh dengan datuknya, Datuak  Marajo Sati bersuku Mandahiliang. Kelima, Sungai Sirah dengan datuknya, Datuak Marajo Lelo bersuku Tanjung. Keenam, Lembak Pasang dengan datuknya Datuak Rangkayo Hitam bersuku Mandahiliang. Ketujuh, Kampung Jua dengan datuknya, Datuak Mudo bersuku Caniago. Kedelapan, Pasir Baru dengan datuknya, Datuak Maruhun bersuku Sikumbang. Delapan penghulu inilah yang menjadi pemuka masyarakat di Nagari Pilubang.

Di Pinjauan Tinggi tersebutlah Pakiah Caduik. Pakiah Caduik pernah mengaji (belajar) agama Islam ke Ulakan bersama Syekh Burhanuddin. Di Nagari Pilubang di kala itu masih banyak masyarakat yang menikmati makanan yang  mentah, termasuk makanan yang haram.

Karena kedalaman ilmu agama yang dikuasai Pakiah Caduik masih belum mendalam, maka orang bertanya perihal agama Islam, jawabannya tidak tuntas. Ibarat kata orang Minang, kajinya indak mamutuih. Padahal masyarakat sangat mengharapkan kejelasan dari apa yang ditanyakan kepada Pakiah Caduik yang dianggap sudah memiliki pengetahuan yang luas terhadap nilai-nilai agama Islam.

Akhirnya berkumpullah delapan orang datuak pemuka masyarakat Pilubang tersebut di atas. Mereka mendatangi Pakiah Caduik untuk bisa dipertemukan dengan Syekh Burhanuddin di Ulakan. Sesuai dengan kesepakatan, mereka berangkat bersama Pakiah Caduik ke Ulakan. Rombongan dari Pilubang menemui Syekh Burhanuddin untuk meminta seorang guru yang bisa ditempatkan di Nagari Pilubang. Sebagai penghargaan kepada guru yang diminta tersebut, disediakan tanah seluas 80 X 80 meter persegi  sebagai cikal  bakal tempat mengembangkan dan belajar ilmu-ilmu agama dan kemasyarakatan lainnya.



Menanggapi permintaan dari penghulu yang datang dari Nagari Pilubang tersebut, Syekh Burhanuddin merekomendasikan salah seorang muridnya bernama Aminullah, yang berasal dari Marunggi, Kuraitaji. Selanjutnya Aminullah ditunjuk menjadi kadi nagari Pilubang, bersamaan dengan tiga kadi lainnya untuk nagari Ulakan, Lubuk Ipuh, VII Koto dan Pilubang di Kecamatan Sungai Limau. Di Lubuk Ipuh dikenal dengan Kadi Syekh Abdurrahman.

Aminullah  pun dipersilakan menempati tanah yang sudah dipersiapkan seluas 80 X 80 meter persegi. Masyarakat Pilubang menjadikan Aminullah tempat balinduang (berlindung) dari berbagai ragam masalah yang dihadapinya. Aminullah kemudian mempersunting salah seorang perempuan Pilubang.  Karena banyak orang di Pilubang mencari perlindungan kepada Aminullah, maka pelan-pelan namanya sering dipanggil Syekh Balinduang. Nama itu hingga sekarang terpajang di gubah masuk kawasan makam Syekh Balinduang, maupun di pintu masuk makamnya, tertulis MAKAM SYEKH BALINDUANG PILUBANG. Diperkirakan, Syekh Balindung wafat setelah 50 tahun wafatnya Syekh Burhanuddin. Artinya, Aminullah masih di usia sangat muda belajar dengan Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan, kemudian tidak lama setelah Aminullah disuruh ke Pilubang, Syekh Burhanuddin wafat.

Syekh Balinduang selain sebagai tempat berlindung bagi masyarakat Nagari Pilubang, juga mengajar anak pakiah (santri). Anak pakiahnya tidak hanya dari Pilubang, tapi juga dari luar Pilubang. Banyak juga anak pakiahnya dari Malalo, nagari yang berada di pinggir Danau Singkarak Kabupaten Tanah Datar. Bahkan ada diantara santrinya yang menikah dengan perempuan di sekitar surau Syekh Balinduang, yakni yang terkenal PakiahBatuah. Dari perempuan yang dinikahi Pakiah Batuah, melahirkan sejumlah anak.



H. Sa’ali Tuanku Mudo yang lahir tahun 1937, setelah mengaji di surau Cubadak Sungai Asam dan di surau Syekh Kiambang pulang kampung. Tahun 1964 mulai mengajar anak pakiah di Surau Anak Aia di Kubu Kaciak, kurang lebih 2 kilometer dari makam Syekh Balinduang. Ketika Sa’ali diangkat menjadi petugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk (P3NTR) Nagari Pilubang tahun 1972, praktis kegiatan mengajar anak pakiah terhenti. Waktunya lebih banyak dihabiskan mengurus pernikahan masyarakat di Nagari Pilubang.

Tahun 1985, Sa’ali kembali mengajar dengan mendirikan pesantren Luhur Syekh Balinduang. Karena aktifitas Sa’ali sebagai P3NTR sudah banyak digantikan Pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sungai Limau. Saat ini ada 20-an anak pakiah di Pesantren Luhur Syekh Balinduang.

Sa’ali sendiri mulai belajar agama Islam di surau Cubadak Sungai Asam Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkuang dari tahun 1954-1957. Terjadinya pergolakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat, juga berpengaruh terhadap proses pendidikan di Surau Cubadak. Aktifitas belajar terhenti. Sa’ali pun tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Setelah suasana mulai kondisi, tahun 1959 Sa’ali melanjutkan mengaji ke Syekh Kiambang di Kiambang Sicincin. Di sini Sa’ali belajar dari tahun 1959 hingga 1964. Sa’ali sempat pula belajar kepada buya Razak, pendiri pesantren Mato Aia Pakandangan.



Menurut Sa’ali Tuanku Mudo, keistimewaan Syekh Balinduang antara lain sering jika didatangi  orang yang maksud hendak bernazar. Kalau keinginannya tercapai atau terkabul, maka orang yang mendatangi tersebut bernazar. Sering kali yang bernazar tersebut terkabul apa yang diinginkannya. Sehingga cukup sering orang mendatangi Syekh Balinduang agar nazarnya terkabul.

Kedua, sebagai ulama, Syekh Balindung seringkali pula menjadi tempat meminta obat bagi yang mengalami penyakit atau demam. Dulu, sebagaimana biasanya para ulama yang alim dan banyak paham agama Islam dianggap memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit setelah diberikan sesuatu ramuan, doa, benda atau nasihat saja. Suatu kali datang seseorang ke tempat tinggal Syekh Balinduang  meminta obat untuk penyembuhan demam yang dideritanya. Ternyata sesampai di rumah Syekh Balindung, Syekh Balinduang sendiri tengah berada di seberang sungai yang hanya beberapa puluh meter dari rumahnya. Kala itu air sungai lagi meluap sehingga Syekh Balindung tidak bisa langsung pulang. Setelah disampaikan dari seberang sungai maksud kedatangan menemui Syekh Balindung hanya meminta obat, maka dari seberang sungai Syekh Balinduang hanya bersorak dari seberang, “Sudah obatnya, pulanglah lagi.”

Orang tersebut langsung pulang dengan membawa kembali ramuan yang disiapkan untuk didoakan oleh Syekh Balinduang. Sesampai di rumah, ramuan tersebut diobati kepada yang sakit. Alhamdulilah sembuh.

Ketiga, Syekh Balinduang tiba-tiba menyuruh isterinya untuk menyiapkan bumbu masakan  ikan. Sang isteri semula bertanya, ikan belum ada tapi sudah disuruh menyiapkan bumbu dan santannya. Karena patuh pada suaminya, sang isteri langsung menyiapkan bumbu dan santan di dapur. Sementara Syekh Balinduang menuju sungai yang berjarak beberapa puluh meter dari tempat tinggalnya. Tak lama kemudian kembali lagi dengan membawa ikan yang siap untuk digulai/dimasak. Padahal Syekh Balinduang tidak membawa pancing atau alat penangkap ikan lainnya ke sungai. Tapi hanya sebentar ke sungai, pulangnya sudah membawa ikan untuk dimasak isterinya yang sudah menyiapkan bumbunya.

Beberapa meter dari makam Syekh Balindung terdapat sumur. Sumur ini sering dimanfaatkan masyarakat sebagai lokasi membawa bayi turun mandi. Karena dianggap akan memberikan kebaikan kepada bayi kelak jika sudah besar. Sekarang sudah mulai jarang yang membawa bayinya turun mandi ke sumur ini. Boleh jadi karena tradisi turun mandi semakin banyak ditinggalkan kaum ibu-ibu terhadap bayinya. Sumur ini juga tidak pernah kering, sekalipun musim kemarau mencapai tiga bulan.

Sebagai murid dari Syekh Burhanuddin, pengikut Syekh Balinduang juga mengadakan Safa Ketek (kecil), setelah dilaksanakan Safa Gadang (besar), di bulan Safar tahun hijriah. Safa Ketek diikuti dari jamaah yang berada di Nagari Pilubang, Koto Bangko Sungai Geringging dan nagari lainnya di sekitar Pilubang. Safa Ketek sudah dimulai sejak tahun 1950-an.

Syekh Balinduang dengan postur tubuh gemuk agak rendah. Salah seorang ponakan dari Syekh Balinduang adalah Tuanku Kuning Kubu yang berasal dari Rambai Kuraitaji Pariaman. Tuanku Kuniang ini dikenal juga dengan Tuanku Kubu Pinjawan.  Tuanku Kubu Pinjawan ini terkenal sebagai ulama yang bisa mengobati  berbagai penyakit. Dalam pelayanannya, hanya sampai pukul 11.00 WIB. Setelah itu pintu rumahnya langsung ditutup. Sampai pukul 13.00 WIB, kemudian dibuka kembali.

Konon Tuanku Kuniang ini Jumatannya ke Mekah. Semula orang di Nagari Pilubang tidak yakin kalau Tuanku Kuning shalat Jumatnya ke Mekah. Namun ketika ada orang Pilubang yang tengah melaksanakan ibadah haji, tahu betul dengan Tuanku Kuniang ini. Ia menyaksikan Tuanku Kuniang shalat Jumat di Mekkah. Sesampai di Pilubang dan bertemu langsung dengan Tuanku Kuniang. Ia sangat yakin yang ditemui di Mekkah saat menunaikan ibadah haji, benar-benar Tuanku Kuniang. (armaidi tanjung)

 

Wawancara H.Sa’ali Tuanku Mudo, di Pesantren Luhur Syekh Balinduang, Nagari Pilubang, Kecamatan sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman 4 Mei 2023.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top